Istilah “hamba Tuhan” kini memiliki pengertian yang multi tafsir. Pengertian pertama ialah bahwa semua mahluk harus mengabdi kepada Allah, oleh karena itu disebut abdi Allah atau hamba Allah. Pengertian kedua berkaitan dengan jati diri orang percaya yang sudah ditebus oleh Tuhan sehingga disebut hamba Tuhan, meskipun dalam kekristenan lebih dikenal dengan istilah “anak Tuhan”. Pengertian lain lagi berkaitan dengan fungsi sebagai orang yang menaati panggilan Tuhan menjadi pemberita Injil atau firman Tuhan.
Istilah hamba Tuhan dalam Lukas 1:38 ialah η δουλη κυριου. Kata hamba berasal dari kata “doulos” yang berarti “budak” atau “pelayan”. Pengertian tersebut menunjukkan seseorang yang mengabdikan dirinya dan telah menyerahkan hak hidupnya kepada tuannya tersebut karena telah dibeli atau ditebus. Maka “hamba” hanya melakukan pekerjaan yang diperintahkan oleh tuannya secara bertanggung-jawab.
Pengakuan “sesungguhnya, aku ini adalah hamba Tuhan”, mengandung konsekuensi praktis dalam hidup, dalam arah adanya relasi yang jelas dengan Tuhan dan ketaatan kepada pimpinan Tuhan. Pengakuan tersebut bukan sekedar credo tetapi harus dibuktikan dengan sikap yang benar dalam menaati Tuhan.
TUGAS HAMBA MENURUT 2 TIMOTIUS 4: 1-5
Menjelaskan tugas seorang hamba Tuhan. Bentuk tugas dan panggilan yang dimaksudkan adalah meliputi tugas dan panggilan untuk selalu memberitakan Injil, baik atau tidak baik waktunya, menegur dan menasihati yang sala,h serta memberikan pengajaran yang sehat. Tugas pemberitaan Injil merupakan tugas panggilan pelayanan bagi semua orang percaya. Tugas ini harus dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan dengan penuh kesabaran. Hamba Tuhan harus berani menyatakan kebenaran kepada siapapun termasuk kepada para penguasa. Tetapi sebelum melaksanakan tugas itu hamba Tuhan harus terlebih dahulu membekali diri dengan Firman Tuhan dan senantiasa memberi tempat kepada Roh Kudus untuk berdiam dalam dirinya sebab oleh Roh Kuduslah seseorang mampu menguasai diri, sabar menderita dan dapat menunaikan tugas pelayanan sampai akhir. Menjadi hamba Tuhan memiliki kualifikasi dalam 1 Tim. 3:2 Paulus mengatakan bahwa sebagai pelayan Tuhan itu harus “tidak bercacat.” Sifat yang tak bercacat berasal dari kata anepilhmpton (anepilemton) yang menyiratkan fakta bahwa seorang pelayan seharusnya adalah seorang yang tidak lagi diragukan karakter serta pengetahuan Alkitab yang sehat.
Menjadi seorang hamba Tuhan merupakan sebuah panggilan mulia yang datangnya dari Tuhan sendiri. Panggilan sebagai hamba Tuhan tidak sama dengan pekerjaan/profesi dibidang sekuler. Seseorang yang menjadi hamba Tuhan harus memeberitakan firman Tuhan tanpa rasa takut akan ditplak atau tidak disenangi oleh jemaat/manusia. Apapun yang diperintahkan harus disampakainnya kepada jemaat. Karena tugas tugas utama hamba Tuhan adalah memeberitakan firman Tuhan, maka seorang hamba Tuhan harus benar-benar terdidik baik dalam theology, benar-benar mengenal firman Allah yang tertulis dan benar-benar menguasai isi Kitab Suci.
Tuhan memang mengutus hamba-Nya, tetapi siapa yang memanggil? Jawabnya ialah bahwa Tuhan juga yang memanggil, tetapi melalui jemaat, karena jemaat adalah tubuh-Nya dan jemaat membutuhkan pelayan. Bagaimana seorang pendeta tahu bahwa dia diutus dan dipanggil Tuhan?peranan doa dalam hal ini sangat penting, sebab adalah sebuah kekeliruan jika seseorang memaksa dirinya menjadi pendeta, tetapi sebenarnya dia tidak dipanggil Tuhan untuk itu. Perasaan, doa, keyakinan, dorongan keluarga dan teman, bergaul dengan firman Tuhan setiap hati, dapat menjadi alat Tuhan untuk memperdengarkan panggilan-Nya. Tanpa panggilan Tuhan, tanpa panggilan Bahasa batin dan iman, maka peran pastoral pendeta (dan juga jabatan pelayanan yang lain seperti penatua, diakones, bendahara jemaat, dan lain-lain) hanya akan menjadi semacam peran manajerial semata, sehingga mereka akan dengan mudah dipermainkan Iblis merusak gereja.
Ciri-ciri orang yang tidak terpanggil sebagai hamba Tuhan menurut 2 Petrus pasal 2 diterangkan tentang orang-orang yang hidup bukan karena panggilan Tuhan yaitu nabi-nabi dan guru-guru palsu:
Ayat 1, yang tampil di tengah-tengah umat Tuhan memasukkan pengajar-pengajaran sesat yang membinasakan mencari keuntungan dari jemaat.
Ayat 3, menghina pemerintahan Allah.
Ayat 10, tidak pernah jemu berbuat dosa.
Ayat 13, terlatih dalam keserakahan.
Ayat 14, mengucapkan kata-kata congkak dan hampa.
(ayat 18) menjanjikan kemerdekaan kepada orang lain.
(ayat 19) pada hal mereka sendiri adalah hamba Tuhan kebinasaan.
Dalam sitem pelayan yang dipanggil jemaat, maka pelayan (hamba Tuhan) “palsu” seperti dalam 2 Petrus itu akan menghadapi jalan yang sempit.[5]
Apa yang dibutuhkan dari seorang hamba Tuhan sehingga dapat memenuhi panggilannya dalam Tuhan dan pekerjaan-Nya sesuai dengan Firman Tuhan dalam Alkitab? Yaitu karakter yang seperti Kristus yang menjadi teladan (Filipi 2:5-8). Tuhan bisa memakai semua orang yang diinginka-Nya untuk menjadi alat-Nya bahkan orang yang karakternya buruk sekalipun separti yang ada pada Simson. Namun, ada baiknya jika mengembangkan karakter seperti Yusuf; ada baiknya jika menjalani hidp dengan itegeritas.[6] Seorang ilmuan besar Albert Einstein menyatakan:
“Banyak orang mengatakan bahwa kepintranlah yang membuat seorang ilmuan besar. Namun, mereka keliru, karakterlah yang membuat seorang ilmuan besar”.
Karakter yang kuat sangat penting artinya dalam hidup dan kehidupan manusia, karena karakter tidak hanya menjadi titik poros yang mencerminkan akhlak anak bangsa, tetapi juga menjadi proses pencarian watak bangsa dan menjadi poros utama titik balik kesuksesan pembangunan peradaban bangsa. Menurut Kepmendiknas, karakter adalah sebagai nilai-nilai yang khas baik (tahu nilai kebaikan, mau berbuat baik, nyata berkehidupan baik, dan berdampak baik terhadap lingkungan) yang terpatri dalam diri dan terejawantahkan dalam perilaku. Michael Josephson pendiri Josephson Institut of Etihc di Amerika, merumuskan bahwa secara garis besar ada enam pilar karakter (the six pillars of character) yang semestinya ditumbuh kembangkan, yaitu:
Kepercayaan (trustworthiness), berlaku jujur, terpercaya, sesuainya kata dengan perbuatan, berani karena benar, membangun reputasi yang baik, mencintai keluarga dan setia pada negara.
Sikap hormat (respect), hormat terhadap orang lain, taat hukum, toleran dalam perbedaan, berlaku sopan dan berbahasa santun, empatik, tidak menjadi ancaman bagi orang lain, dan bersikap damai.
Bertanggung jawab (responsibility), berorientasi masa depan, tekun dalam kebaikan, disiplin dan mawas diri, berpikir sebelum bertindak dan siap menerima konsekuensi tindakan, bertanggung jawab atas perkataan dan perbuatannya, menjadi contoh bagi orang lain.
Bersikap adil (fairness), bertindak sesuai aturan, berpikiran terbuka dan mendengarkan orang lain, tidak mengeksploitasi orang lain, meperlakukan semua orang dengan adil.
Penuh perhatian (caring), perhatian dan penuh kasih sayang, peduli terhadap orang lain, memiliki sikap memaafkan, memberi bantuan pada orang yang membutuhkan.
Menjadi warga negara yang baik (citizenship), memasyarakat, mampu bekerja sama, menghormati orang lain, mencintai dan melindungi lingkungan, rela berkorban.
Oleh sebab itu, betapa perlunya karakter bagi seorang hamba Tuhan, karena seorang hamba Tuhan adalah pemimpin bagi umat Tuhan. Bisa dibayangkan jika karakternya buruk, maka akan dapat menyesatkan banyak orang dari jalan Tuhan. Hamba Tuhan sebagai pemimpin rohani berarti pemimpin yang mengenal Allah secara pribadi dalam Kristus dan memimpin secara kristiani. Pemimpin rohani adalah pribadi yang memiliki perpaduan antara sifat-sifat alamiah dan sifat-sifat spiritualitas Kristen. Sifat-sifat alamiahnya mencapai efektivitas yang benar dan tertinggi karena dipakai untuk melayani dan memuliakan Allah. Sedangkan sifat-sifat spiritualitas kristianinya menyebabkan ia sanggup mempengaruhi orang-orang yang dipimpinnya untuk menaati dan memuliakan Allah. Sebab daya pengaruhnya bukan dari kepribadian dan ketrampilan dirinya sendiri, tetapi dari kepribadian yang diperbaharui Roh Kudus dan karunia yang dianugerahkan Roh Kudus.
Bagaimana seharusnya karakter seorang hamba Tuhan itu menurut Alkitab?
Dalam 1 Timotius 3:1-7 di jelaskan hamba Tuhan tentang seorang yang terpanggil menjadi seorang hamba Tuhan, yaitu sebagai berikut:
Tak Bercacat
Kata “tak bercacat” digunakan untuk suatu kedudukan yang tidak mungkin dilawan, suatu kehidupan yang tidak mungkin dicela, suatu seni atau teknik yang demikian sempurna sehingga tidak ditemukan suatu kesalahanpun di dalamnya. Seorang yang tak bercacat memiliki moral yang baik dan reputasi kerohanian yang baik. Namun perlu digarisbawahi bahwa apa yang dimaksud Paulus bukan berarti para penatua bukanlah orang berdosa, tetapi dalam perjuangan mereka dengan secara serius dan bertanggung jawab di dalam anugerah Tuhan untuk tidak hidup sembarangan, melainkan betul-betul menjaga akan karakter mereka sesuai dengan pengajaran firman Tuhan.
Oleh karena itu, dalam kepribadian seorang hamba Tuhan, khususnya para pejabat gereja harus rendah hati dan dapat mendengar pendapat orang lain, ini suatu syarat penting bagi gembala. Melihat betapa Paulus menganggap pentingnya ajaran yang murni bagi tugas pembinaan jemaat di bidang iman maupun kelakuan hidup. Oleh sebab itu tugas seorang penatua adalah disamping memerintah jemaat, mengelolah rumah-tangga Allah, ia juga mengajar, menasehati dan menjaga kemurnian ajaran di dalam jemaat, maka ia tidak boleh cacat secara moral atau etis.
Dapat menahan diri
“Dapat menahan diri” berarti mampu mengendalikan diri. Hal ini sangat penting dapat diwujudkan oleh para hamba Tuhan. Paulus menjelaskan tentang hal ini dengan menggunakan analogi dari seorang pelari dalam suatu lomba, “Tidak tahukah kamu, bahwa dalam gelanggang pertandingan semua peserta turut berlari tetapi hanya seorang saja yang menjadi pemenang? karena itu berlarilah sebegitu rupa, sehingga kamu memperolehnya.”
Bijaksana
Kata “bijaksana” menurut terjamahan King James Version adalah “sober” yang artinya, ketertiban, waras, dalam indera seseorang; membatasi keinginan dan dorongan seseorang, mengendalikan diri. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia “bijaksana” artinya, selalu menggunakan akal budi (pengalaman dan pengetahuannya); arif; tajam pikiran; pandai dan hati-hati (cermat, teliti dsb) apabila menghadapi kesulitan.
Sopan
Kata Yunani yang diterjemahkan menjadi “sopan” dalam ayat ini sama artinya dengan kata “pantas” dalam 1 Timotius 2:9, yang menunjuk kepada pakaian perempuan. Pusat perhatian ayat ini diletakan pada keteraturan serta keadaan yang bebas dari kekacauan pikiran. Sedangkan kata “sopan” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia artinya, hormat dan takzim, tertip menurut adat yang baik: dengan mempersilahkan tamunya duduk; kepada orang tua kita wajib berlaku; beradap tentang tingkah laku, tutur kata, pakaian dan sebagainya; tahu adat, baik budi bahasanya ia berlaku amat kepada kedua orang tuanya, baik kelakuannya (tidak lacur, tidak cabul).
Cakap mengajar
“Cakap mengajar” dalam bahasa Yunani didaktikos, merupakan kata sifat yang berarti mampu mengajar, pandai mengajar atau memiliki kemampuan dan kepandaian dalam pengajaran. Disini pandai mengajar menekankan tugas pemimpin jemaat sebagai orang yang mampu mengajarkan ajaran yang benar serta membuktikan kesalahan ajaran-ajaran sesat. Ungkapan ini digunakan lagi dalam 2 Timotius 2:24. Cara lain untuk mengungkapannya ialah “mampu mengajarkan orang percaya dengan baik”. Kata mengajar διδάσκo (didasko), mengandung arti, mengabarkan, memanggil untuk mengambil keputusan menyapa orang dengan kehendak Allah bagi mereka secara utuh.
Bukan pemarah
“Bukan pemarah” dalam bahasa Yunani, me plektes, yang berarti bukan pemarah, kasar atau suka bertengkar. Kata (plektes) adalah kata benda yang menggambarkan sifat orang yang cepat marah dan yang tidak ragu-ragu menggunakan kekerasan terhadap orang yang mengganggunya atau orang kontroversial, petarung. Jadi (me plektes) artinya orang yang bukan pemarah melainkan peramah, sabar atau cermat dan tidak suka bertengkar. Karakter seorang penatua tidak boleh suka bertengkar. Seperti yang diungkapkan oleh Blaiklock bahwa, “Orang yang bisa meninju atau memukul hambanya tidak layak menjadi pekerja Kristen. Ia bukan penyombong yang suka berkelahi, ia bukanlah jagoan yang angkuh atau cepat membalas dendam.” Jadi seorang penatua harus bisa mengendalikan diri pada saat berkonflik dan senantiasa memiliki hati yang pendamai bukan pemarah.
Tidak sombong
Kata “tidak sombong” artinya renda hati, sederhana, lemah-lembut atau bersahaja. Disini penulis menyimpulkan bahwa seorang hamba Tuhan seharusnya tidak angkuh, congkak, melainkan rendah hati dan selalu bersahaja dan bersikap lemah-lembut terhadap jemaat serta masyarakat umum dalam kehidupan sosial.
TUGAS
1. Jelaskanlah arti misi kehambaan!
2. Menjelaskan tugas dan panggilan Hamba Tuhan dalam 2 TIMOTIUS 4: 1-5?
3. Menyebutkan karakter yang dimiliki sebagai seorang Hamba Tuhan?
Comentários